Sebut saja namanya Karta. Ia sudah menikah dengan wanita pilihannya. Berwajah cantik. Tetapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya. Karta mulai dipengaruhi dengan istrinya dan nyaris senantiasa menurutinya. Dari sinilah cerita tragis itu diawali. fotogoogle. com
Selain Karta serta istrinya, dirumah itu juga tinggal ibunya. Terlebih dulu, Karta berlaku baik pada ibunya. Namun perlahan-lahan, sang istri men-‘cuci otak’-nya.
Satu hari, sepulang Karta dari tempat kerja, istrinya mengadu. “Mas, ibu itu bagaimana sih. Kerjanya hanya berjalan-jalan ke rumah tetangga. Tidak mau bantuin saya. ” Karta segera termakan kalimat sang istri. Dicarinya ibunya.
“Ibu, ibu sukanya ke main ke rumah tetangga ya. Tidak mau mbantu menantu ibu, ” tuduh Karta pada ibunya.
“Siapa yang katakan demikian. Ibu itu yang ngepel serta nyapu rumah ini, Karta. Ibu yang membersihkan. Dan makanan yang anda makan itu, itu juga ibu yang masak. Ibu memanglah ke rumah tetangga, namun itu hanya sesaat. Untuk istirahat. Bila istirahat siang-siang dirumah ini, ibu dapat dimarahi istrimu, ” jawab ibunya.
Mendengar keterangan itu, bukannya mohon maaf, Karta jadi tak memercayainya. “Ah, ibu alasan saja. ”
Hari-hari selanjutnya, jalinan pada Karta serta ibunya tidak kunjung lebih baik. Terlebih jalinan pada ibu dengan istri Karta, makin memanas. Sampai satu malam, sesudah Karta hingga dirumah, sang istri memohonnya memutuskan yang begitu susah.
“Mas, saya telah tidak betah lagi sama ibu. Saya serta ibu tak dapat lagi tinggal dalam satu atap. Saat ini Mas tentukan, saya yang pergi atau ibu yang keluar dari rumah ini, ” kata istri Karta dengan suara tinggi.
Karta bingung. Ia tidak tega mengusir ibunya, namun ia juga tak mampu berpisah dari istrinya.
“Kenapa seperti itu Dik. Saya begitu mencintaimu, saya tidak mungkin saja hidup sendiri tanpamu. Namun ibu, ia tak miliki siapa-siapa. Bila ia pergi, pergi ke mana? Kasihan dia, ” kata Karta bingung.
“Enggak Mas. Malam ini dapat anda mesti putuskan. Ibu yang pergi atau saya yang pergi. ” Luluh juga hati Karta di depan istrinya. Tak tahu syetan apa yang merasukinya, ia juga melangkah ke kamar ibunya.
“Masya Allah, apakah benar anda ingin mengusir ibu ini, Karta? ” bertanya ibu 1/2 tidak yakin waktu mendengar Karta memohonnya pergi dari rumah.
“Iya, Bu. Ini untuk kebaikan rumah tangga kami, ” tutur Karta dengan tegas.
“Kamu tega, Karta, ” kata sang ibu dengan nada gemetar, tetapi orang yang namanya di panggil cuma diam, “kalaupun anda mengusirku, tunggu besu pagi. Tengah malam begini, ibu mesti ke mana? ”
Karta terdiam. Ia tidak menjawab. Namun keputusannya sudah bulat.
Beberapa waktu lalu, ibu Karta juga keluar dengan tas di tangannya. Tak semuanya barangnya dapat dibawa. Ia melangkah jalan di dalam malam, sembari air mata selalu menetes membasahi pipinya. Sebagai seseorang ibu, ia sungguh begitu kecewa. Sakit hatinya. Diusir oleh anak sendiri yang lebih mementingkan istri tidak berakhlak dari pada ibunya. Dalam keadaan itu, sang ibu juga berdoa.
“Ya Allah, hatiku sakit atas perlakuan ini. Anakku sendiri mengusirku, walau sebenarnya saya yang mengandung, melahirkan, men.yu.sui serta membesarkannya. Ya Allah, saya tak ridho kepadanya. Saya haramkan semua air su.su yang diminumnya mulai sejak bayi sampai membentuknya seperti sekarang ini! ”
Doa seseorang ibu yang didurhakai, di dalam malam, dalam keadaan hujan rintik-rintik, ketiga aspek mustajabnya doa itu berjumpa.
Esok harinya, Karta rasakan semua badannya sakit. Kulitnya mulai gatal-gatal. Semakin lama, kulitnya seperti melepuh. Hari-hari selanjutnya lepuhan itu keluarkan nanah dengan bau yang menyengat. Hingga, tetangga yang menjenguknya juga tak berani mendekat.
Beragam usaha medis tidak juga membuatnya lebih baik. Karta mengerti kalau ini mungkin saja karena kesalahannya mengusir ibunya sendiri pada malam itu. “Tolong carikan ibuku, saya menginginkan mohon maaf. Sakitku ini karena itu, ” pintanya pada seorang.
“Tidak. Agar Karta rasakan sakit itu. Sakitnya hatiku diusir lebih sakit dari apa yang dirasa Karta, ” jawab sang ibu waktu didapati pesuruh Karta, “aku tidak ingin kembali pada rumah itu. ”
Beberapa hari lalu, Karta juga wafat. Demikian busuknya bau Karta, beberapa hingga modin setempat tidak ingin memandikannya sendiri. Ia menyewa orang untuk memandikan Karta. Saat wafatnya Karta nyaris berbarengan dengan wafatnya orang lain di kampung yang sama. Hingga tersedialah dua galian untuk memakamkan mereka. Serta barusan Karta dimakamkan, keributan terjadi.
“Ini semestinya makam untuk saudara saya, mengapa dihuni, ” kata seorang yang terperanjat lihat galian makam untuk saudaranya sudah terisi.
“Maaf pak, kami tidak paham. Karena telah terlanjur, sekali lagi kami mohon maaf. Mohon almarhum dimakamkan di galian satunya Pak, kan keduanya sama makamnya”
“Tidak dapat! Ini telah kita pesan liang lahatnya dekat dengan anggota keluarga yang wafat terlebih dulu. Bila disana kan jadi terpisah. Kami tidak ingin. Mesti dibongkar”
Karena tak dapat di ajak kompromi, pada akhirnya warga juga mengalah untuk membongkar kembali makam Karta. Anehnya, waktu makamnya dibongkar, mereka merasakan kain kafan Karta sudah beralih warna ; coklat keabu-abuan. Badannya juga terlihat lebih tipis. Serta demikian di buka, mereka terperanjat bukanlah main. Jenazah Karta beralih warna serta bentuk, seperti hangus terbakar. Sekian dahsyatnya azab untuk anak yang durhaka pada ibunya. Azab pedih segera terjadi didunia serta lebih pedih lagi waktu ada di alam barzah.
Mohon bantu sebarkan cerita ini, mudah-mudahan dapat berguna serta bikin kita lebih mencintai ibu.
Sumber : Kisahikmah. com
*Disarikan dari ceramah KH. Zubairi Rahman, Pengasuh Program Keluarga Sakinah – Nada Giri FM